Ratu Belanda Teken Penyerahan Kedaulatan, Indonesia Harus Bayar Mahar

Penyerahan
kedaulatan Belanda ke Republik Indonesia Serikat (RIS), dihadiri Ratu Belanda
Juliana dan Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta. (Joop van
Bilsen/Anefo/Nationaal Archief, Public Domain via Wikimedia Commons)
StasiunBerita – Indonesia merdeka
sudah sejak 17 Agustus 1945, namun Belanda telat mengakui kedaulatan negara
ini. Baru pada 27 Desember 1949, Ratu Belanda Juliana meneken penyerahan
kedaulatan dari Belanda ke
Republik Indonesia Serikat (RIS).
Suasana peristiwa 27
Desember kala itu dituliskan oleh wartawan senior, (Alm) Rosihan Anwar, dalam
bukunya, ‘Sejarah Kecil, Petite Histoire Indonesia, Vol I’. Lokasi acara
penyerahan kedaulatan dari Belanda ke RIS itu mengambil tempat di Paleis
op de Dam, istana yang terletak di tengah kota Amsterdam.
“Saya lihat di
sana Ratu Juliana menandatangani dokumen penyerahan kedaulatan,” tulis
Rosihan.
Saat itu, suasananya
berdesak-desakan. Di kejauhan nampak Ratu Juliana, Perdana Menteri Belanda
Willem Drees, hingga Duta Besar Van Royen. Dari pihak Indonesia, ada Perdana
Menteri RIS, Mohammad Hatta hingga
Sultan Pontianak Alkadrie.
Rosihan melihat
peristiwa yang dia sebut sebagai pertanda berakhirnya kekuasaan Belanda.
Pertanda itu ada pada diri seorang pengurus rumah tangga Istana (Kamerheer).
“Dalam ruangan
itu juga seorang Kamerheer (pegawai yang mengurus rumah tangga raja) jatuh
lantaran semaput, mungkin karena lelah. Pada saat itulah sebuah pikiran
melintas dalam benak saya: Kejadian itu adalah simbolis, mengindikasikan
tamatnya kerajaan Belanda di Indonesia,” tulis Rosihan.
Indonesia
berkontribusi membangun Belanda
Penandatanganan
penyerahan kedaulatan oleh Ratu Juliana tersebut adalah tindak lanjut dari
Konferensi Meja Bundar (KMB), dua bulan sebelumnya. Selain soal penyerahan
kedaulatan, KMB juga mengamanatkan agar Indonesia membayar utang perang kepada
Belanda, pihak yang di mata rakyat Indonesia merupakan penjajah selama
berabad-abad.
Saat itu, Negeri
Belanda di Eropa Barat sana baru saja dikoyak Perang Dunia II. Kondisinya luluh
lantak. Perlu dana besar untuk membangun kembali negeri pasca-Perang Dunia II,
seperti negara-negara Eropa lainnya.
Politikus cum sejarawan, Lambert Giebels, menjelaskan
soal hal ini dalam tulisannya di De Groene
Amsterdamrer, 5 Januari 2000. Belanda mematok harga yang tinggi untuk mahar
sebuah kedaulatan, kedaulatan yang sebenarnya tidak penuh untuk Indonesia
karena mengecualikan Papua bagian barat.
Belanda menyuruh
Indonesia membayar 6,5 miliar Gulden. Biaya sebesar itu akan digunakan Belanda
untuk membayar aksi polisionil Belanda terhadap Indonesia. Aksi polisionil
adalah istilah mereka untuk menyebut ‘Agresi Militer Belanda’,
aksi yang membuat Indonesia menderita.
Utusan Komite PBB
untuk Indonesia (UNCI), Merle Cochran, menilai 6,5 miliar Gulden terlalu tinggi
untuk dibayar sebuah negara yang baru merdeka seperti Indonesia. UNCI menawar
agar Belanda menurunkannya, Belanda akhirnya menurunkannya menjadi 4,5 miliar Gulden.
Itu tetap tinggi.
Waktu berjalan.
Tujuh tahun kemudian, yakni 1956, Presiden Sukarno menolak untuk membayar utang
ke Belanda. Saat itu, sebenarnya utang Indonesia tinggal tersisa 650 juta
Gulden dari total 4,5 miliar Gulden yang ditetapkan Belanda pada 1949.
Indonesia sudah membayar sekitar 4 miliar Gulden antara 1950 sampai 1956.
Jadi, Belanda saat
itu sudah menerima sekitar 4 miliar Gulden dari Indonesia. Di luar itu, masih
ada hampir semiliar Gulden yang didapat Belanda dari perusahaan-perusahaannya
di Indonesia. Meski banyak perusahaan Belanda dinasionalisasi oleh Sukarno, namun
pendapatan perusahaan-perusahaan tersebut, uang pensiun, dan tabungan yang
berasal darinya telah ditransfer dari Indonesia ke Belanda. Semua itu
menyumbang perekonomian Belanda era 1950-an.
Di luar itu, Belanda
juga menerima dana bantuan Marshall
Plan dari Amerika Serikat untuk pembangunan pasca-Perang Dunia II di Eropa.
Jumlah yang diterima Belanda dari dana bantuan Marshall Plan adalah 1127 USD.
Saat itu, 1 USD setara dengan 3,80 Gulden.
“Bantuan
(Marshal Plan) itu tak terlalu jauh lebih banyak dari yang Indonesia bayarkan
antara 1950 sampai 1956. Soalnya, banyak orang percaya pembangunan Belanda
pasca-perang itu satu-satunya berkat Marshal Aid,” tulis Lambert Giebels. [detikcom]

    No More Posts Available.

    No more pages to load.