‘Nasib Tragis Mata Setan’, Peninggalan Purba di Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan

oleh
oleh

OKI-SUMSEL, StasiunBerita –  Masyarakat Kabupaten Ogan Komering
Ilir (OKI), Sumatera Selatan, berbondong-bondong memburu harta karun di
lahan bekas kebakaran hutan dan lahan.

Harta karun yang diyakini peninggalan Kerajaan Sriwijaya itu berupa
cincin, manik-manik, hingga lempengan yang terbuat dari logam mulia,
emas.

Menurut arkeolog, temuan itu memiliki nilai sejarah tinggi karena
usianya bisa jadi sebelum masa Kerajaan Sriwijaya ada. Tapi masyarakat
pemburu harta karun, memilih untuk menjualnya ke toko emas demi
mendapatkan uang kontan.

“Mata rantai ilmu pengetahuan itu bisa tidak nyambung. Putus,” kata
Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Budi Wiyana kepada BBC
Indonesia, Minggu (6/10/2019).

Balai Arkeologi Sumsel telah melakukan penelitian mengenai perjalanan
Kerajaan Sriwijaya sejak 2000 silam. Mereka berpindah-pindah dari satu
lokasi ke lokasi lainnya. Hasil penelitian di antaranya tiang rumah,
gerabah, papan perahu yang usianya lebih tua dari Kerajaan Sriwijaya.

“Ada yang abad ke-2, ada yang abad ke-4. Itu sebetulnya menarik. Di
lokasi-lokasi itu ada tiang-tiang juga, ada pemukiman,” tambah Budi.

Kerajaan Sriwijaya diyakini menjadi kerajaan terbesar di Nusantara yang
menguasai perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Bukti awal keberadaan
kerajaan ini berdasarkan catatan seorang biksu asal Tiongkok, I Tsing
pada 671 Masehi. Sriwijaya berkuasa hingga abad ke-10.

Kemunculan Kerajaan Sriwijaya ini diyakini memiliki hubungan dengan
Kerajaan Melayu Funan di delta Sungai Mekong. Kerajaan Funan merupakan
kerajaan terkuat di Asia Tenggara pada awal Masehi hingga abad ke-6 M.

Selama puluhan tahun meneliti, Balai Arkeologi Sumsel menemukan
benda-benda bersejarah di Pantai Timur Sumatera Selatan (lokasi
pencarian harta karun oleh warga-sekarang) memiliki kemiripan dengan
peninggalan di Oc Eo, pelabuhan tua di Vietnam Selatan yang sudah
berdiri sejak awal Kerajaan Funan.

“Di awal abad pelabuhan itu sudah ada. Nah dia itu (Kerajaan Funan)
keruntuhannya terus muncul Sriwijaya. Tapi, kemungkinan juga sudah ada
hubungan, entah hubungan dagang atau apa, antara Pantai Timur Sumsel
dengan dengan Funan di Oc Eo itu,” lanjut Budi.

“Makanya kita tiga tahun terakhir ini intensif penelitian di daerah itu.
Tapi selama kami penelitian itu, malah enggak pernah nemu misalnya
emas-emas itu. Ya, paling papan perahu, tiang rumah, alat-alat rumah
tangga dari gerabah, dari keramik,” tambahnya.

Budi menyayangkan apabila temuan bersejarah seperti cincin, manik-manik,
hingga lempengan emas dijual ke toko. Sebab, bagi para arkeolog
temuan-temuan itu dapat menjadi mata rantai penyambung sejarah.
“Kalau mereka jual. Kita kehilangan data,” katanya.

Harta karun cagar budaya
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya empat provinsi (Jambi, Sumsel,
Bengkulu, dan Bangka-Belitung) Iskandar Mulia Siregar mengaku segera
memberangkatkan tim ke lokasi perburuan harta karun di OKI.

Iskandar mengatakan tim ini akan berkoordinasi dengan kepolisian, balai arkeologi, dan pemerintah daerah OKI.

“Kalau untuk itu perlu kajian. Secara Undang Undang pastikan itu cagar
budaya atau bukan. Baru besok tim saya ke sana,” kata Iskandar melalui
sambungan telepon, Ahad (6/10/2019).

Undang Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengartikan benda
cagar budaya sebagai benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik
bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau
bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan
kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

“Biasanya dilaporkan dulu, biar diteliti, itu cagar budaya atau tidak.
Kalau diputuskan cagar budaya juga boleh dimiliki masyarakat, secara UU
seperti itu. Ada yang boleh, ada yang harus diambil Negara,” tambah
Iskandar.

Jika ditemukan “harta karun” sebagai cagar budaya maka pemerintah wajib
memberikan kompensasi bagi penemunya. Balai Pelestarian Cagar Budaya
memiliki anggaran Rp20 juta per tahun untuk menebus cagar budaya hasil
temuan masyarakat.

“Sekitar Rp20 juta per tahun untuk empat provinsi: Jambi, Sumsel,
Bengkulu, Babel. Ada anggaran kita untuk memberi imbalan jasa,” kata
Iskandar.

Ia mengakui bahwa berdasarkan UU tentang Cagar Budaya, para pemburu
harta karun yang masuk kategori cagar budaya bisa terkena ancaman pidana
jika tak melaporkan temuannya. Namun, pihak berwenang mengedepankan
pendekatan persuasif.
“Kalau semuanya (pakai ancaman pidana) kan repot juga,” imbuhnya.

Berburu si mata setan
Salah satu pemburu harta karun, Ringgo mengatakan kebanyakan yang
didapat warga biasanya emas dalam bentuk pasir atau butiran. “Ada juga
manik-manik. Sama teman-teman di sana, dijuluki mata setan,” katanya
kepada BBC Indonesia, Minggu (6/10/2019).

Ringgo menambahkan selain harta karun emas, warga juga menemukan
benda-benda bersejarah lainnya. “Ada juga yang temu keramik-keramik.
Guci. Kendi,” lanjutnya.

Pencarian ini dilakukan di Kecamatan Cengal, Dusun Seradang. Tapi, kata
Ringgo, ada temuan baru lagi di tempat lainnya. “Bukan lagi di Desa
Serdang. Ini lokasi baru sekitar satu minggu belakangan di Desa
Pelimbangan. Ini penemuan baru, di lokasi PT Samora. Temuannya itu
butiran,” tambahnya.

Ringgo sudah sejak 2015 ikut berburu harta karun yang diyakini sebagai
peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Tapi ia mengklaim belum pernah
mendapatkan emas.
“Sudah puluhan kali. Tapi tak dapat-dapat. Istilahnya itu nasib-nasiban,” katanya sambil tertawa.

Selama berburu harta karun, ia mengatakan di lokasi pencarian sudah ada
pembeli emas yang membawa timbangan. Tiap gram emas yang didapat warga
dihargai sekitar Rp500 ribu.

“Kadang-kadang toko emas itu belinya langsung ke lapangan. `Jadi siapa
yang dapat, ayo! Aku mau beli`,” kata Ringgo sambil menirukan suara
pembeli emas di lapangan.

Dalam kasus lainnya, Ringgo mengaku temannya mendapatkan sebuah cincin
emas berukir ikan. Cincin tersebut sudah dijual sekitar Rp40 juta ke
Palembang.
“Emas itu dijual ke Palembang, dilebur lagi,” tambah Ringgo.

Padahal, dia sudah mengingatkan temannya agar menjualnya ke pihak
pemerintah karena selain harganya lebih mahal juga bisa didata.

“Tolong jangan dijual, nanti saya datakan orang arkeolog atau BPCB
(Balai Pelestarian Cagar Budaya), biar mereka yang lebih mahal membeli.
Tapi, ya, namanya nggak ada uang, pikirkan perut,” kata Ringgo.

Saat ini lanjut Ringgo, kebanyakan yang didapat masyarakat selain emas adalah guci-guci keramik.
“Oy! Guci banyak. Oleh karena itu masih disimpan oleh warga, karena
belum ada harga yang pantas untuk dijual, tapi kalau harganya mahal
pasti dijual masyarakat semua itu. Tapi kalau satu guci mau dibeli
Rp300-400 ribu belum tentu dijual. Karena mereka itu nyarinya banyak
habiskan uang,” katanya.

Bolehkah harta karun bersejarah dimiliki?
Kepemilikan “harta karun” berdasarkan Undang Undang No. 11/2010 tentang Cagar Budaya diatur dalam sejumlah pasal:

Pasal 23
(1) Setiap orang yang menemukan benda yang diduga Benda Cagar Budaya,
bangunan yang diduga Bangunan Cagar Budaya, struktur yang diduga
Struktur Cagar Budaya, dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar Budaya
wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditemukannya.

(2) Temuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dilaporkan oleh
penemunya dapat diambil alih oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah.

(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi
yang berwenang di bidang kebudayaan melakukan pengkajian terhadap
temuan.

Konsekuensi dari Pasal 23 ini diatur dalam Pasal 102, yaitu setiap orang
yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan dapat dipidana penjara
paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.

Pasal 24
(1) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi apabila benda, bangunan,
struktur, atau lokasi yang ditemukannya ditetapkan sebagai Cagar Budaya.

(2) Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sangat langka jenisnya, unik
rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia, dikuasai oleh Negara.

(3) Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak langka jenisnya, tidak unik
rancangannya, dan jumlahnya telah memenuhi kebutuhan negara, dapat
dimiliki oleh penemu.

Pasal 26
Ayat (4) Setiap orang dilarang melakukan pencarian Cagar Budaya atau
yang diduga Cagar Budaya dengan penggalian, penyelaman, dan/atau
pengangkatan di darat dan/atau di air sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), kecuali dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya.

Konsekuensi dari Pasal 26 ini kemudian diatur dalam Pasal 103 di mana
pelaku yang tak mendapatkan izin dari pemerintah atau pemda diancam
pidana penjara antara 3 – 10 tahun dan denda minimal Rp150 juta dan
paling banyak Rp1 miliar.

Pasal 66
Ayat (1) Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun
bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.

Hukuman bagi orang yang merusak dalam hal ini melebur cagar budaya, bisa
kena pidana 1 – 15 tahun penjara dan denda antar Rp500 juta hingga Rp1
miliar. [viva.co.id]

Baca Juga: Mengungkap Sebuah Fakta Mengejutkan!? Temuan Harta Karun Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

    No More Posts Available.

    No more pages to load.